Jumat, 17 Februari 2017

"Bahagianya" Hidupku Waktu Kecil, Sampai Foto Masa Kanak-Kanakpun Tidak Ada

Satu-satunya foto masa kanak-kanak yang benar-benar nempel pada ingatan dan benar-benar terpampang pada dinding rumah adalah foto ketika bapak wisuda sarjana. Waktu itu kami berempat, bapak, ibu, saya dan adik.

Saya baru berumur 10 tahun.

Itulah foto kenang-kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan dan selalu menjadi penyemangat hidup agar kelak bisa menjadi seperti bapak yang menjadi sarjana dengan usaha dan keringatnya sendiri sembari membiayai kami sekeluarga.



Tiba-tiba saya ingat dengan kenangan ini ketika istri menyatakan kalau ia lebih beruntung dibanding saya, karena ia mempunyai banyak album kenangan sewaktu kanak-kanak. Mulai dari ulang tahun, foto di tempat wisata dan lainnya.


Dan itu memang betul sekali..

Jangankan untuk merayakan ulang tahun, untuk makan sehari-hari saja, dulu kami sekeluarga syukurnya sudah melimpah-limpah. Tak pernah terpikir dalam hati kalau saya akan merayakan ulang tahun. Tidak pernah.

Apalagi mencoba untuk berfoto, kamera darimana?

Saya lahir tahun 1985 dan teknologi masih seret perkembangannya. Memang sudah ada kamera, tapi hanya untuk kalangan terbatas dan itupun harus pergi ke kota dan merogoh kocek lagi. Suatu pilihan yang sangat dihindari orang tua mengingat setiap lembar uang sangat berarti.

Jujur, entah mengapa saya tidak pernah memikirkan untuk berfoto dulu. Masa kanak-kanak sudah terhabiskan untuk bersenang-senang dengan sapi, sawah dan sekolah.

Sehabis pulang sekolah, masakan ibu sudah menyambut. Enak banget masakannya, walaupun sederhana tapi saya puas menyantap. Sayur, tempe dan tahu adalah menu yang mendominasi dikeseharian.

Daging?
Jarang, lagian agak mahal..

Gaji bapak sebagai seorang pegawai negeri sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok kami, tidak ada beli mainan apalagi sekedar berfoto. Uang yang ada harus benar-benar dihemat. Walaupun orang tua tidak pernah melarang saya membeli mainan, seingat saya saya tidak memiliki satu mainan pun di rumah.

Karena memang saya tidak pernah meminta dari mereka. Koleksi mainan  saya kosong melompong. Palingan kalau ingin mainan, saya membuatnya sendiri menggunakan kayu-kayu atau barang bekas.

Hal yang paling membuat saya tidak berani minta uang untuk mainan adalah karena ibu turut bekerja menjadi buruh harian di pertanian jahe atau tembakau. Begitu kerasnya orang tua bekerja untuk memastikan saya dan adik bisa makan dengan baik.

Saya tidak tega jika mengambil hasil keringat ibu hanya untuk mainan..

Jadi ketika musim jahe, ibu akan bekerja dari pagi hingga sore disawah. Ikut mencangkul dan juga menanam sampai proses memanen. Sayapun sering ikut disana membantu setelah pulang sekolah dan sesudah menyajikan makanan untuk sapi peliharaan.

Bahagia itu sederhana

Walaupun keseharian saya tidak jauh-jauh dari sawah dan bekerja, entah mengapa saya sangat merasa bahagia. Berada disamping orang tua setiap hari dan membantu mereka bekerja membuat hati ini senang.

Di rumah tugas utama adalah bersih-bersih sehingga ketika ibu atau bapak pulang sudah mendapati rumah yang nyaman. Melihat senyum mereka adalah kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan lagi.

Dulu itu belum ada pipa yang bisa masuk ke dapur, jadi harus mengambil di saluran umum yang sudah disediakan. Air untuk memasak di dapur harus ditampung dengan gerabah besar. Nah, sayapun setiap sore harus memastikan gerabah ini tetap penuh agar dipagi harinya ibu bisa memasak dengan persediaan air yang cukup.

Bagaimana dengan liburan?

Liburan saya ya melakukan ini setiap hari. Apalagi ketika liburan sekolah datang, maka sudah saatnya saya menginap di sawah seharian dari pagi sampai sore. Untuk apa? Untuk mengusir burung-burung yang mencoba memakan padi.

Entah mengapa setiap liburan sekolah hampir selalu berdekatan dengan masa-masa padi berbuah di sawah garapan bapak. Hasilnya nanti dibagi dua antara dengan pemilik tanah. Lumayan sekali untuk mensuplai pasokan makanan beberapa bulan ke depan.

Teman saya liburan yaitu burung-burung nakal dan jahil ini.

Saya memastikan bahwa tidak ada sebiji bulir pagi yang direnggut olehnya dan sebagian besar burung ini kabur.  Tapi ada juga lho yang lihai dan berhasil mengisi perutnya disaat saya sudah ngos-ngosan mengejar kawanan lain disawah yang seukuran 4 kali lapangan bola.

Dan ini seru banget.. Saking serunya saya jadi lupa untuk berfoto-foto dan mengabadikan momen-momen dimana saya masih kecil sampai SD.

Akhirnya bapak pun berhasil menyelesaikan masa belajarnya dan menjadi sarjana.

Kami semua berangkat ikut bapak ke acara wisudanya dan tak dinyangka tak dinyana bapak mengajak berfoto distudio dengan menggunakan motor hasil pinjaman dari tetangga. Waktu itu saya masih SD dan ingusan, kulit gelap karena kebanyakan dibelai sinar matahari.

Inilah satu-satunya foto kenangan saya ketika masih kecil.

Istripun sangat senang melihat foto ini, karena ia mendapakan bahan untuk mem-bully. Tidak berhenti sampai disitu, iapun menyanjung saya di foto itu karena mirip pentol korek  :)

10 tahun sudah berlalu dan akhirnya saya berhasil menamatkan sarjana di universitas terkenal di Indonesia. Kami pun berfoto bersama dan ini mengingatkan saya ketika masa kanak-kanak dulu pas foto diwisudanya bapak.

Itulah bahagianya masa kecil, mulai dari kucing-kucingan dengan burung pipit pemakan padi, bisa membantu ibu di rumah, mendapatkan makanan enak setiap hari dan tidak pernah kekurangan, mempunyai orang tua yang ulet dan pekerja keras.

Bahagia sekali..

Walaupun tidak dijejali dengan mainan, tapi saya bisa bermain dengan alam yang malah memberikan kesenangan yang jauh lebih besar. Setiap mengenang kejadian di masa lalu, senyum pun mengembang dan bahkan diiringi tawa kecil.

Oh ya, cukup sekian dulu.. Saya mau selfie... wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk....


Baca juga :


EmoticonEmoticon